Sabtu, 26 Maret 2011

Rumah Adat Aceh

Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).

Rumah Adat Nusa Tenggara Barat

Rumah adat suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Atap rumah Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek). Lantainya dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan abu jerami. Campuran tanah liat dan kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras, sekeras semen. Pengetahuan membuat lantai dengan cara tersebut diwarisi dari nenek moyang mereka.Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat rumah adat Sasak didapatkan dari lingkungan sekitar mereka, bahkan untuk menyambung bagian-bagian kayu tersebut, mereka menggunakan paku yang terbuat dari bambu.  Rumah adat suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, dan tidak memiliki jendela.  Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profan duniawi) secara bersamaan. Artinya, rumah adat Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuk baluk), epen bale (penunggu rumah), dan sebaginya.Perubahan pengetahuan masyarakat, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor-faktor eksternal lainya (seperti faktor keamanan, geografis, dan topografis) menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya saja, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang, dan polanya tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya yang dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang ditransmisikan secara turun temurun.Untuk menjaga lestarinya rumah adat mereka dari gilasan arsitektur modern, para orang tua biasanya mengatakan kepada anak-anaknya yang hendak membangun rumah dengan ungkapan: “Kalau mau tetap tinggal di sini, buatlah rumah seperti model dan bahan bangunan yang sudah ada. Kalau ingin membangun rumah permanen seperti rumah-rumah di kampung-kampung lain pada umumnya, silakan keluar dari kampung ini.” Demikianlah cara orang Sasak menjaga eksistensi rumah adat mereka, yaitu dengan cara melembagakan dan mentransmisikan pengetahuan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Jumat, 25 Maret 2011

Rumah Adat Sumatra

Rumah Gadang atau Rumah Godang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjung
Rumah Gadang sebagai tempat tinggal bersama, mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut yang telah bersuami memperoleh sebuah kamar. Sementara perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain.
Seluruh bagian dalam Rumah Gadang merupakan ruangan lepas kecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.
Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung (Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan pada kelarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga. Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarki menggunakan anjung yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung di udara. Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah.

Rumah Adat Sulawesi

Anjungan atau bangunan induk anjungan mengambil bentuk Istana Sultan Buton (disebut Malige) yang megah. Meskipun didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, bangunan ini dapat berdiri dengan dengan kokoh dan megah diatas sandi yang menjadi landasan dasarnya. Patung dua ekor kuda jantan yan sedang bertarung, pelengkap bangunan, menggambarkan tradisi mengadu kuda dari Pulau Muna yang digemari masyarakat Sulawesi Tenggara
Di Taman Mini Indonesia Indah, anjungan Sulawesi Tenggara terletak di sebelah tenggara arsipel, bersebelahan dengan anjungan Sulawesi Selatan serta berhadapan dengan istana anak-anak Indonesia. Dalam memperkenalkan daerahnya propinsi Sulawesi Tenggara menampilkan bangunan induk yang merupaka tiruan dari istana raja Buton yang disebut Malige.
Bangunan ini sengaja ditampilkan karena bangunan yang asli masih ada di pulau Buton serta merupakan satu peninggalan budaya yang bersejarah. Di halaman anjungan dilengkapi dengan patung-patung orang berpakaian adat antara lain dari daerah Buton, Muna, Kendari dan Koloka. Juga patung 2 ekor kuda jantan yang sedang berlaga, memperebutkan kuda betina. Adegan in menggambarkan Pogerano Ajara, jenis aduan kuda khas Sulawesi Tenggara, dan merupakan permainan raja-raja. Selain Anoa, Rusa dan lain-lain.
Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan kayu. Banguanannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin keatas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih melebar.
Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang. Tiang tengah menjulang ke atas dan merupakan tiang utama disebut Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu wala da semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya berbentuk bulat. Biasanya tiang-tiang ini puncaknya terpotong.
Dengan melihat jumlah tiang sampingnya dapat diketahui siapa atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang mempunyai tiang samping 4 buah berarti rumah tersebut terdiri dari 3 petak merupakan rumah rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 buah akan mempunyai 5 petak atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau rumah anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang mempunyai tiang samping 8 buah berarti rumah tersebut mempunyai 7 ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan Buton.
Adapun susunan ruangan dalam istana ini adalah sebagai berikut:
1 Lantai pertama terdiri dari 7 petak atau ruangan, ruangan pertama dan kedua berfungsi sebgai tempat menerima tamu atau ruang sidang anggota Hadat Kerajaan Buton. Ruangan ketiga dibagi dua, yang sebelah kiri dipakai untuk kamar tidur tamu, dan sebelah kanan sebagai ruang makan tamu. Ruangan keempat juga dibagi dua, berfungsi sebgai kamar anak-anak Sultan yang sudah menikah. Ruang kelima sebgai kamar makan Sultan, atau kamar tamu bagian dalam, sedangkan ruangan keenam dan ketujuh dari kiri ke kanan diperguakan sebagai makar anak perempouan Sultan yang sudah dewasa, kamar Sultan dan kamar anak laki-laki Sultan yang dewasa.
Di anjungan Sulawesi Tenggara, lantai pertama ini konstruksi atau susunan ruangan sudah diubah sesuai dengan keperluan, sebagi pameran dan peragaan aspek kebudayaan daerahnya. Di sini dipamerkan pakaian kebesaran tradisional raja Kendari beserta permaisurinya, juga pakaian kebesaran raja Muna,panglima perang atau Kapitalao, menteri besar atau Banto Balano dan Pasi yakni petugas pengurus benda pusaka kerajaan. Semuanya dipamerkan dengan bentuk boneka berpakaian tradisional tersebut. Di ruanga inipun dioamerkan berbagai jenis hasil kerajiana perak Kendari, kerajinan anyaman-anyaman, tenunan serta benda-benda pusaka, beberapa goci dan berbagai binatang yang telah diawetkan seperti penyu, burung Meleo, penyu bersisik, biawak, enggang dan lain-lain.
2 Lantai kedua dibagi menjadi 14 buah kamar, yaitu 7 kamar di sisi sebelah kanan dan 7 kamar di sisi sebelah kiri. Tiap kamar mempunyai tangga sendiri-sendiri hingga terdapat 7 tangga di sebelah kiri dan 7 tangga sebelah kanan, seluruhnya 14 buah tangga. Fungsi kamar-kamar tersebut adalah untuk tamu keluarga, sebagai kantor, dan sebagai gudang. Kamar besar yang letaknya di sebelah depan sebagai kamar tinggal keluarga Sultan, sedangkan yang lebih besar lagi sebagai Aula.
3 Lantai ketiga berfungsi sebagai tempat rekreasi
4 Lantai keempat berfungsi sebagai tempat penjemuran. Disamping kamar bangunan Malige terdapat sebuah banguan seperti rumah panggung mecil, yang dipergunakan sebagai dapur, yang dihubungakan dengan satu gang di atas tiang pula. Di anjungan bangunan ini di[pergunakan sebagai kantor anjungan. Pada bangunan Malige terdapat 2 macam hiasan, yaitu ukira naga yang terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang tergantung pada papan lis atap, dan dibawah kamar-kamar sisi depan. Adapun kedua hiasan tersebut mengandunga makna yang sangat dalam, yakni ukiran naga merupakan lambang kebesaran kerajaan Buton.
Sedangkan ukiran buah nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas saja, melambangkan bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton. Bunga nenas bermahkota, berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung kerajaan hanya Sultan Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi bibit nenas tidak tumbuh dari bibit itu, melainkan dari rumpunya timbul tunas baru. ini berarti bahwa kesultanan Buton bukan sebagai pusaka anak beranak yang dapat diwariskan kepada anaknya sendiri. Falsafah nenas in dilambangakan sebagai kesultanan Buton, dan Malige Buton mirip rongga manusia. Anjugan daerah Sulawesi Tenggara dibangun sejak tahun 1973 dan diresmikan pengggunaannya pada tahun 1975.
Bertindak sebagai perancang terutama pada bangunan induknya adalah orang-orang adat dari bekas kesultanan Buton. Pada halaman anjungan terdapat arena pertunjukan dengan latar belakang relief, yang menggambarkan kebudayaan di Sulawesi Tenggara. Di arena inilah pada hari Minggu atau hari libur dipagelarkan kesenian tradisional seperti tari-tarian antara lain tari Kalegoa, tari Lariangi, tari Balumpa, tari Malulo dan lain-lain. Jenis tarian terakhir merupakan tarian pergaulan yang ditarikan dengan membentuk suatu lingkaran, bila besarnya lingkaran telah mencapai lebar arena, dibentuk lagi lingkaran baru di dalamnya, begitu seterusnya sehingga membentuk lingkaran yang berlapis-lapis karena semakin banyak orang yang melibatkan diri ikut menari tarian Malulo ini.
Selain itu juga ditampilkan musik lagu-lagu daerah, dan diwaktu-waktu tertentu dipamerkan makanan-makanan khas daerah Sulawesi Tenggara ataupun karnaval tradisional. Anjungan daerah Sulawesi Tenggara telah menerima kunjungan tamu negara pada tanggal 1 Mei 1983 yakni istri P.M Jepang, Ny. Tautako Nakasone dan pada tanggal 10 November 1984 berkunjung pula istri P.M. Thailand, Ny. Virat Chomanan-
(TMII)

Rumah Adat Papua

Rumah adat Masyarakat Papua, atau yang biasa disebut dengan Honai.
Honai adalah rumah khas Papua yang dihuni oleh Suku Dani. Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai mempunyai pintu yang kecil dan tidak memiliki jendela. Sebenarnya, struktur Honai dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua.
Honai terdiri dari 2 lantai yaitu lantai pertama sebagai tempat tidur dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan. Karena dibangun 2 lantai, Honai memiliki tinggi kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut Wamai).